Kamis, 02 Juli 2009

Naskah sebuah novel: Chapter three.

Chapter three.




Iringan-iringan 4 mobil merengsek perlahan memasuki pelataran parkir Nomoto restauran. Dari mobil pertama turun enam orang dari Pajero terbaru. Dari CRV beberapa orang lagi. Caravell baru saja mematikan mesinnya. Mobil terakhir sebuah van carnival yang telah dimodifikasi bercat kuning sedang mencari posisi parkir. Di kesua sisi mobil itu bertuliskan nama sebuah stasiun TV, salah satu yang terbesar yang ada saat ini.

Looke melompat gesit dari bis kota yang melaju langsam lalu berjalan cepat mendekati Restoran Nomoto tempatnya bekerja. Dia melirik sekila pada deretan mobil tamu, dan pada bagian belakang kendaraan operasional stasiun TV yang tertulis dalam hurup besar, salah satu program acara tayangan terpavorit di stasiun tersebut, sebuah reality show.

Looke bergerak cepart menyusuri gedung berlantai dua yang ramping menuju ke belakang, memasukkan kartu absen kedalam mesin waktu lalu bergegas ke ruang ganti pakaian karyawan. Dia telah terlambat hampir setengah jam.

Tak seberapa lama kemudian dia telah muncul di dapur dengan pakaian lengkap siap untuk memulai pekerjaannya.

Siang itub restoran terlihat agak lenggang. Hanya terlihat beberpa orang langganan di lantai dua , sebelum romboongan tersebut muncul.

Masing-masing mengambil tempat sebelum menuju ke etalase roti memanjang di samping mereka. Aroma roti yang lezaat seperti asap pekat yang memenuhi seluruh restoran tersebut, di pojok manapun anda dapat merasakan baunya yang wangi menyengat, tapi tidak melihatnya, menyentuhnya, merabahnya. Kemudian mengambil nampan lalu memilih roti. Kira-kira ada 16 orang, sebagian besarnya adalah kru TV.

Foster, pimpinan kru itu duduk semeja dengan tiga orang perempuan di depannya, seorang perempuan di kirinya dan asisten produksi di kananya, meja ke 4 paling tengah dari pintu masuk yang berjejer memanjang.

Didepannya, pada nampannya terdapat dua keping roti lapis, sandwich berlapis daging sapi asap dan beberapa Cake Kelapa yang renyah, khas Amerika, salah satu menu terbaik di Nomoto. Manager siang itu menghampirinya, berbasa-basi sebentar, sejenak menguccapkan selamat datang lalu kembali ke dapur. Dari sana, Looke muncul sambil membawa beberapa lembar dafatar menu lalu membagikannya. Sambil menunggu para tamu menentukan pesannya, dia berdiri di samping, sedikit ke belakang, emnghadap meja Foster, membelakangi etalase roti.

Meja no 6 memanggilnya. Looke menuliskan dengan cepat pesanan lalu ke meja No. 1, No. 5, No. 2, No. 3 lalu ke meja terakhir, meja No. 4. Beberapa keping roti tambahan dan minuman, pada umumnya adalah kopi hitam panas, 4 gelas capucino, 2 gelas latte dan sisanya adalah jus lemon yang segar.

Seorang pelayang perempuan mengambil alih bon roti. Looke ke dapur, dan tak lama kemudian dia muncul bersama seorang pelayan yang lain dengan nampanb terisi sebagaimana pesanan.

Foster adalah seorang sutradara muda kreatif yang hebat di lingkunan industri TV. Ide-ide dan terobosan-terobosan kreatif dan inovatifnya setidknya telah menghasilkan beberapa tayangan reali9ty show pendulang rating, pabrik uang di dunia hiburan dan iklan-iklan papan atas yang bersedia membayar berapapun untuk mendapatkan spot iklan beberapa detik di setiap acara yang dibuatnya. Dia berangkat dari kelas elit Jakarta yang tidak mau tahu menahu seluk beluk industri TV tapi mengerti bagaimana mendesain dan menggarap sebuah ide cerita menjadi sebuah tanyangn yang bisa menghibur sekaligus menjadi mesin pencetak uang.

Dia setidaknya tahu bagaimana membuat sebuah tayangan yang mampu membuat penontonnya tertawa, karena memang ada sesuatu yang lucu. Membuat penonton menangis karena ada sesuatu yang mengharukan. Membuat penonton duduk bertahan berjam-jam di depan TV karena apa yang dilihatnya memang adalah sebuah tayangan yang sangat menarik untuk ditonton, bagaimana sebuah kisah dalam tayangan tersebut bermula, berjalan dan mengalir, dan berakhir. Konsumen iklan tahu bahwa penonton-penonton acara realty show yang dibuatnya adalah penonton-penonton yang sentimentil, melankolik, emosional dan cerdas, sebuah kelas sosial yang tahu dan membutuhkan apa yang mereka jual dalam kehidupannya sehari-hari, mereka adalah kelas sosial yang mampu membeli, adalah penonton yang tertawa, yang menangis dan bahkan melakukan kedua hal tersebut secara bersamaan.

Lanjutnya bercerita......

“AndaAnda melihat sesuatu yang berkilauan dari lantai dua atau tiga rumah anda, atau sesuatu yang berkilau di balik tumpukan jerami di landaian sebuah tebing yang curam?...”

“Permisi!”

Mereka serempak menoleh.

“Silahkan!”

Looke meletakkan nampan di tepian meja lalu mulai membagikannya satu persatu sebagaimana pesanan.

Untuk Foster, segelas kopi hitam manis. Cappucino untuk du orang di sampingnya, dan masing-masing satu gelas cappucino untuk perempuan paling kiri di depannya, dia yang paling cantik.

“Anda melompat bergegas. Ternyata dugaan anda keliru. Itu bukanlah berlian, sebagaimana yang anda harapkan, sesutu yang berkilau dan berharga tinggi. Anda mengerang kesakitan, tapi tidak mengapa....”

Latte yang pahit untuk perempuan duduk paling tengah, kecantikannya adalah sesuatu yang lain dari semua yang ada di sana, yang dapat anda temui, sesuatu yang langka dan luar biasa tentang kecantikan ada pada dirinya.

“Menurutmu mengapa?” tanya Foster kepada ketiga perempuan kelas atas di depannya.

“Jjoe?”

“More?”

Dia berpikir sejenak lalu cepat menggelangkan kepala, dia belum menemukan jawaban.

Foster menunggu jawaban, dia meneguk perlahan dengan penjiwaan sedikit-demi sedikit kopi panas dari gelasnya, untuk yang pertama kali.

Latte kedua untuk orang ketiga, bintang iklan komersial papan atas di TV dan seorang penulis sebuah kolom gaya hidup di sebuah majalah Fashion & Life style.

“Nikki? Kau tahu, mengapa?”

Nikki mengkerutkan wajahnya yang cantik menjadi serupa wajah lugu seorang anak TK yang banyak tahu apa itu dunia dan seisinya, berusaha mencari dan menemukan jawaban yang menurutnya mungkin pas sambil membetulkan letak cangkir Latte yang baru disuguhkan untuknya.

“Menurutmu apa? Lanjut dia bertanya mengalihkan pertanyaan kepada Meadowri di sisinya kemudian kepada Gretchen.

“Apa ya kira-kira?” Balasnya.

Lalu lanjutnya lagi dengan cepat, “ Menurutku sepertinya itu adalah berlian sesungguhnya, hanya saja dia salah mengambil pilihan...”

“Ya, seharusnya dia tidak melompat. Apakah di sana tidak ada tangga atau jalan lain untuk menuruni tebing?” lanjut meadowri. Dia adalah seorang artis penyanyi dan top model, elit, papan atas.

Menurutku itu adalah pantulan sinar matahari dari kepala Bruce Willis yang sedang bersembunyi di balik semak-semak!” More, manager Meadowri menambahi dengan kemungkinan yang lain.

“Itu adalah fatamorgana, seperti oase kecil di gurun Sahara di hadapan Thompson bersaudara!” Jjoe memberikan jawaban.

“Berarti ada satu orang lagi yang tertipu fatamorgana, itu khan maksudmu?” balas Foster.

“Satu orang bodoh tertipu, boleh juga Joe!” Gretchen memberi komentar lalu meledak tertawa terpingkal-pingkal, ke lima orang lainnya pun demikian, tak kuasa menahan rasa geli dan gregetan saat masing-masing mulai mengingat kembali kekonyolan Thompson bersaudara dalam salah satu seri petualangan TINTIN; Mencari harta sang Faraoh.

Foster melanjutkan humor dan teka-tekinya.

Tertawa dan kebahagian, yang terus mengalir, membuat riuh restoran itu.

Kearah Looke, Gretchen menyelah, mengangkat tangan. Cepat Looke beranjak dari balik etalase menghampiri, kemudian pergi lagi bergegas, dengan cepat dia kembali dengan sekaleng Foster beer dingin.

Perlahan dia meletakkannya di hadapan Gretchen.

Meadowri bergerak, menggeser cangkir Lattenya, takut tersenggol siku Looke dan pada saat itulah tangan mereka saling bersentuhan. Foster dengan seksama melihat detail pergerakan Looke. Iu adalah perkara biasa baginya, bagi seorang pramusaji seperti dirinya. Setelah meletakkan Foster beer di hadapan Greetchen, Looke menegakkan kembali tubuhnya hendak beranjak kembali ke balik etalase bersama kedua pelayan lainnya, tapi cepat Foster menghentikan langkahnya.

“Bagaimana rasanya?” brtanya.

“Foster itu?”

“Kau tentu mengerti, bukan, maksudku sentuhan tadi?”

Looke tak cepat menjawab. Dia berpikir cepat mencari jawaban terbaik untuk tamunya.

“Lembut dan hangat, seperti mentega yang baru keluar dari pabrik!”

Meadowri menoleh ke arahnya.

“Mentega?” bisiknya dalam hati sambil membetulkan lipatankakinya di balik meja. Tubuhnya yang terbalut stelan long dress casual, tekstur warna-warni yang didominasi oleh warna hijau lumut, warna yang sama dengan stoking yang dikenakannya, dan sepatu hak tinggi juga hijau lumut, rancangan Jeremy Scoot London. Dia nampak trendy, dan berkelas. Ada yang menjangal di benaknya dari jawaban itu, diapun mengerti kemana arah Foster bertanya.

“Permulaan yang hebat. Kau boleh mencoelnya atau bahkan sedikit memberikan cubitan hangat untuknya, sedikit, jangan terlampau keras, itupun suatu waktu. Ok?'

Looke tertawa kecil, lalu memberi senyuman terbaik yang dapat diberikan oleh seorang pelayan sepertinya, untuk membasuh kekecewaan Meadowri, lalu...

“Thankyou!” Jawabnya dan berlalu pergi.

Meadowri masih melayangkan beberapa pertanyaan penasaran kepada Foster.

Satu jam kemudian, satu persatu rombongan tamu itu melangkah keluar.

“Mas...?” ungkap Meadowri di depan meja kasir, di hadapan Looke. Yang lain bergerombol di belakangnya, emberi dukungan sambil tersenyam-senyum menunggu kelanjutannya. Inilah perjanjiannya dengan Foster, Meadowri akan mengulang cerita tentang berlian itu dan Looke yang akan menjawabnya. Jika Looke salah dengan jawaban yang dia berikan, Meadowri yang akan membayar semua tagihan yan tersisa. Jika jawaban Looke benar, Foster yang akan membayarnya. Meadowri cepat melanjutkan bercerita.

“Mengapa? Tanya Meadowri mengakhiri cerita sambil menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu. Looke mengambilnya lalu membuka kotak kasir. Perhatiannya terfokus ke sana, tak berharap dia salah hitung sekalipun hanya satu sen. Tapi dia telah siap dengan komentarnya, sebuah jawaban.

“Itu adalah cinta, bodoh!” jawabnya sambil menghitung uang kembalian.

Meadowri tersentak kaget mendengar jawaban Looke. Dia juga merasa tersinggung.

“Otak udang, huh dasar, ngomongnya sembarangan!” katanya kesal dalam hati. Lalu lanjutnya,

“Apa katamu, kau menyebutku bodoh? Pikir-pikir dulu yah kalau 'ngomong, gitu loh!”

“Itu adalah jawabannya, Meadowri, ungkapan-ungkapan bodoh dia tentang cinta!

“Benar? Cinta, setelah tadi mentega?”

Wajah Looke mendadak memerah. Dia sadar, telah mengucapkan sesuatu yang benar dengan cara ya salah.

“Kembaliannya, mbak!”

“tidak ada yang kurang?” balasanya ketus.

“Pas!”

“Keep it, sebagai tanda cinta. Ok?”

“Nanti saja di mobil kita bahas beramai-ramai. Ayo!"

Sambung Foster cepat mengambil uang kembalian lalu menari tangan Meadowri dan melangkah cepat keluar dari restoran Nomoto dengan perasan marah, kesal dan kecewa yang masih membekas.

Dari speaker kecil di keempat pojok Nomoto melantunan refrein Walau habis terang, dari Peterpan.


.... Lupakan semua, tinggalkan ini,
aku 'kan tenang dan kau kan pergi,
berjalanlah, walau habis 'kan,
ambil cahaya cinta tuk terangi jalanmu,
di antara beribu laughnya,
kau terang, kau tetap,
kau terang benderang,
...... oh .....


#


Tidak ada komentar:

Posting Komentar