Jumat, 03 Juli 2009

Naskah sebuah novel: Chapter four.

Chapter four.





“Papa pulang!” teiak Pearl dengan perasaan bahagia yang meluap di dadanya.

Sam melompat dari sofa lalu lari ke pelukan Looke. Dia melempar plastik belanja keatas sofa lalu menggendong Sam.

“Bagaimana kabar hari ini?”

“Hebat!” jawab Sam

“Pearl?”

“Menyenagkan. Ada teman yang ulang tahun, dirayakan di kelas.” dia menunjukkan kotak kue yang isinya telah habis dimakan.

“Siapa?”

Pearl menyebut nama temannya.

“Berapa lama lagi Pearl ulang tahu, Pa?”

“4 bulan lagi.”

“Boleh tidak dirayakan di sekolah?”

“Tentu, boleh saja, nanti. Ok?”

“Ok!” jawabnya lalu mengambil kantong belanjaan dari samping Ibu Soup yang telah selesai berkemas, siap untuk pulang. Rumahnya persis di seberang jalan semi flaat tersebut.

“Yang plastik putih itu unuk Ibu Soup bawa pulang!” Looke memberi perintah kepada Pearl untuk memberikannya kepada Ibu Soup.

“Sampai besok ya, Ibu Soup!” teriak Pearl kearah Ibu Soup yang telah beberapa langkah meningalkan kamar mereka. Sam mengulang perkataan Pearl.

“Baik Sam!” jawab Ibu Soup dari kejahuan.

Dia membalasnya dengan kiss bye.

“Sudah mandi Sam?”

“Sudah!” katanya sambil meminta rambutnya diciumi.

“Harum sekali. Pearl?”

“Sudah, Pa!” jawabnya agak kesal, dia sibuk dengan isi kantong belanjaan.

“Sekarang giliran Papa yang mandi!”

Looke menutup pintu kamar lalu mandi.

Namun dia tak langsung menyiram tubuhnya dengan air. Dia duduk termenung di atas closet, lalu mulai mulai memikirkan banyak hal. Naskah cerpen terbarunya telah selasai. Besok harus diantar ke redaksi sebuah majalah. Tapi yang paling merisaukan pikirannya adalah nasibnya sebagai seorang Penulis dan masa depan anak-anaknya, dia tidak hidup sendiri.

3 naskah novel karangannya mulai nampak kusam di rak buku. Sebentar lagi lapuk lalu membusuk. Puluhan cerpen yang sebagian besarnya ditolak oleh Redaksi bukannya tidak bagus. Redaksi beberapa majalah bahkan memasukkan namanya kedalam sepuluh besar Penulis terbaik saat ini. Lalu mengapa mereka menolaknya?

Beberapa cerpennya diangap oleh pihak redaksi tidak cukup memenuhi standart, kriteria dan sejalan dengan nilai-nilai serta karakter jurnalistik yang dianut dan dikembangkan oleh majalah yang bersangkutan. Dengan kata lain, jika persoalan tentang kemiskinan dan pergumulan sosial lainnya merupakan sebuah thema dan latar belakang penceritaan, setidaknya buatlah tulisan tentang kemiskinan yang bisa diterima oldan dicerna oleh akal sehat para pembaca majalah tersebut. Ada kemiskinan yang laku dijual disana, tapi tidak di tempat ini. Demikianpun sebaliknya. Ini hanyalah sebuah kiasan.

Dan anak-anaknya memiliki kepribadian yang kuat, sebagaimana dirinya. Bathinnya sangat merasakan mentalitas dan karakter keduabnya. Mereka harus mendapatkan pilihan yang terbaik, selagi dia masi ada di sisinya. Setiap orang akan mati, bukan? Baik dia seorang selebriti kelas dunia atau seorang artis lokal yang keluar masuk gang dan kampung dengan peralatan musik sekedarnya. Seorang kongliomerat atau seorang gelandangan di trotoar, seorang jenius atau idiot di panrti rehabilitasi cacat mental. Persoalnanya, sebelum engkau meninggalkan dunia yang akan tetaop akan tingal abadi ini,untuk selamanya, lalu dilupakan sama sekali, apa yang elah kau tawarkan pada kehidupan mereka, kepda anak-anakmu? Suatu waktu dia akan meninggalkan mereka, mereka akan menjalani hidupnya, berjuang untuk semua itu dan menikmatinya. Dia senantiasa berharap anak-anaknya akan berumur jauh lebih tua dari dirinya, dan menikmati hidup yang lebih indah , nyaman dan menyenangkan dari yang tela dia rasakan. Bagaimanapun, secara ideal, segala sesuatunya seharusnya berkembang menjadi semakin lebih baik, dan lebih baik lagi, bukan?

Tiap generasi punya tokohnya, orang-orang hebatnya sendiri.

Tita-tiba lamunannya tersadarkan oleh suara teriak Pearl. Mereka bertikai tentang acara mana yang harus mereka tonton, di TV, lalu dia teringat pada sekeping VCD yang dia beli siang tadi. Dia menyuruh Pearl mengambilnya di tas dan memutarnya, film kartun-----------------------------

Sisa malam itu mereka habiskan bertiga, menonton sisa film kartun----------------- sambil menikmati kripik Tortilla yang lezat. Setelah itu tidur!

Dengan gerakan gesit tangannya menahan cepat laju pintu lift lalu melompat masuk. Masih cukup ruang untuk beberapa orang lagi. Dia memencet tombol No. 10 lalu mengeluarkan permen Ciclet gum dari sakunya, untuk membantu menyegarkan nafashnya. Dia melirik satu persatu penumpang lift lalu menlempar senyum khasnya yang genit kepada beberapa orang perempuan. Mereka mebalsanya disertai rasa sungkan. Wajah yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Lift cepat menghantarkannya sampai ke lantai 10, satu lantai dimana operasional Redaksi sebuah majalah wanita dan fashion berlabel internasional edisi lokal itu berkantor.

Sebelumnya dia kekamar mandi, membasuh wajahnya yang kusam serta merapikan pakaian dan penamplannya, untuk menemui salah seorang editor senior di dewan redaksi. Dia hanya pernah bertemu beberapa kali dengannya. Dia terhitung jarang muncul di sana. Naskah-naskah tulisannya pada umumnya dikirimkan via internet, dan honornya langsung ditransfer ke reking banknya. Namun hari ini lain, pada beberapa waktu ke depan dia membutuhkan cukup banyak uang untuk beberapa kegiatan pentingnya yang memerlukan pembiayaan yang cukup besar. Beberapa cerpen sebelumnya yang dia kerimkan kesana ditolak, dia akan berjuang untuk yang satu, yang paling terakhir ini, kalau perlu dia akan memohon dan memelas pebngertian dan belas kasihan Redaksi. Setiap minggunya, puluhan atau bahkan ratusan naskah tulisan seperti cerpen masuk ke redaksi, bersaing dengan miliknya.

“Ini adalah penerbitan majalah perempuan, bukan penerbit cerpen!”

"Saya mengerti, dan kedepan saya tidak hanya akan berusaha membuat cerpen saya menjadi lebih baik, tapi juga cerpen yang benar-benar dapa diterima dan memenuhi kebutuhan para pembaca majalah ini, secara luas.”

“Jika ini benar-benar adalah pekerjaannmu, sudah seharusnya demikian bukan?”

“Saya akan berusaha keras!”

“hanya untuk mengatakan itukah yang telah membawamu kemari?”

“Tentu sesuatu yang lain!”

“Kita tidak punya banyak waktu, get your lucky, Looke. Cepat katakan apa alasanmu?”

“Bulan depan saya membutuhkan cukup banyak uang. Ada beberapa hal penting dan sangat mendesak yang harus saya lakukan. Saya sangat berharap naskah cerpen ini bisa membantu saya menjadi jalan keluar bagi saya memecahkan persoalan keuangan yang pelik tersebut. Ini adalah naskah cerpen yang hebat, saya berharap Ibu bisa membantu sebisa mungkin agar ini bisa terbit. Kali ini jauh lebih matang, lebih memenuhi harapan Ibu.”

“Memangnya kamu perlu uang berapa?”

“Tidak seberapa, tapi sangat berarti bagi saya. Seperti tetesan-tetesan bahan bakar yang akan menentukan masih berapa jauh lagi saya bisa melangkah!”

“Beberapa tetes juga bisa untuk melumpuhkanmu!”

“Kalau ini tentang ikan, daging atau ayam bakar, saya berharap Ibu bisa hadir saat acara bakar-bakarnya nanti! Untuk yang ini, saya berharap jalan keluar yang terbaik dari Ibu.”

“Akan saya coba, Looke!”

Setelah itu Looke pamit pergi, bergegas dengan langkah terburu-buru meninggalkan kantor Redaksi tersebut. Dia selalu berharap tidak melewatkan satumenitpun di mesin absensi.

“Maaf..., Maaf..., maaf....!” ungkapnya pada beberapa orang yang disenggolnya sepanjabng menyusuri koridor antar partisi kantor redaksi penerbitan majalah itu, berlari cepat menuju ke lift.

“Siapa?” tanya seorang Ibu yang mengalaminya kepada Satpam yang berjaga di pintu masuk.

“Tamu, Ibu!”

“Tamu? Dia pikir ini stasiun kereta apa?” ungkap si Ibu kesal dan marah.

“Ketemu dengan siapa? Lanjutnya.

Satpam memberi nama. Lalu bergegas ibu tersebut masuk ke sana, menemuinya.

“Siapa orang yang tadi itu? Yang baru saja bertemu dengan Ibu?” tanya si Ibu dengan ketus dan nafash terburu.

“Pria yang baru keluar?” tanya si Ibu Editor balik sambil menerangkan detail ciri-ciri perawakan si pria, Looke.

“Jalannya koq kayak kuda, tidak pake lihat kiri-kanan!”

“Sebenarnya dia itu lebih pas ibu sebut keledai, berkaca mata kuda!”

“Konyol, dia menyenggol tubuh saya, untung saja tidak menabrak!”

“Dia sedang terburu-buru. Bu!”

“Memangnya dia pikir tempat ini adalah stasiun kereta, jalannya koq pake lari!”

“Keretanya sudah mulai jalan kali', Ibu?”

“Ha..., ha....ha....!” dia tertawa.

Lanjutnya...

“Bye the way, ketemu dengan ibu untuk urusan apa?”

“Dia mengantarkan naskah cerpennya!”

“Cerpen?”

“Ya, benar, cerpen!”

“Penulis?”

”Benar, Ibu!” Ibu editor menyebutkan namanya, bukan menjualnya, termasuk profil lengkap dirinya.

“Baru kali ini saya mendengar namanya?”

“Banyak penulis yang mulai dari sana. Dari sekian banyak no body, dia salah satunya!”

Jika naskah yang ada di depan Editor itu akhirnya bisa diterbitkan, itu berarti cerpen Looke yang ke enam yang pernah diterbitkan oleh mereka, oleh majalah perempuan tersebut. Si Ibu terkejut mendengarnya, dia adalah Direktur eksecutif dan pemilik beberapa persen saham di sana.

“Kalau begitu saya telah telah melewatkan banyak menarik dan penting di sini!” pikirnya diam-diam lalu meminta agar semua salinan karya cerpen Looke yang pernah dikirimkan ke radaksi di antar ke ruangannya.

Editor mengerjakannya dengan cepat dan tangkas.

Dalam sekejab naskah-naskah cerpen Looke telah menumpuk di depan Ibu direktur, di diatas mejanya. Dia terperangah!

Beberapa jam kemudian dia memanggil Ibu editor itu kembali.

“Urusan cerpen-cerpen ini saya akan ambil alih, akan saya tangani sendiri!” ungkapnya. Itu adalah perintah.

Dia ingin melakukan sesuatu untuk sesuatu yang telah terlewatkan oleh. Ini seperti orang miskin yang seharusnya diberi sedekah, atau seorang sakit yang seharusnya dia cintai. Dia memiliki berlimpah peluang untuk mencintai orang yang normal, yang tidak mengharapkan satu senpun dari cinta yang dia berikan, namun dia memilih untuk mencintai yahng sakit. Mungkin ada sedikit perbedaan mencintai sesuatu yang berbeda, sesuatu yang miskin, yang kekurangan, sesuatu yang yang sakit.

Ini adalah sesuatu yang berada dan terjadi diluar kebiasaannya, pekerjaannya, dan kewenangnya. Sesuatu yang tak biasa, yang belum pernah dia alami sebelumnya. Dia akan mencobanya, dia akan menjalaninya, mudah-mudahan ini pantas untuknya!

"Keledai berkeca mata kuda? boleh juga!"

Dia mulai membayangkannya.

Dia, VanityParker, lalu tersenyum menyeringai dengan manis sekali.

Jam 5 sore, telpon di meja kasir berdering, petugas kasir saat itumengangkatnya cepat, lalu memanggil Looke. Dia cepat menghampiri.

“Looke? Ya benar, saya sendiri!”

“Beberapa hari yang lalu saya dan rombongan kru saya makan di situ. Masih ingat Meadowri khan?”

“Seminggu yang lalu, kalau saya tidak salah, saya masih mengingatnya. Si kulit mentega itu, tidak ada yang pernah benar-benar bisa melupakan seorang perempuan yang cantik!”

“Dia cantik ya?”

“Ha..., ha..., seperti itulah. Kau jangan mengejekku. Ada apa?”

“Saya Foster, saya mau ketemu dengan kamu. Bisa?”

“Saya?”

“Benar. Ada waktu?”

“Kapan?”

“Jam berapa kalian bubar?”

“9 malam!”

“Kalau begitu saya jemput kamu jam 9 nanti. Bisa khan?”

Looke berpikir menimbang sejenak, sambil membayangkan Pearl dan Sam. Malam ini dia akan pulang saat mereka telah tertidur lelap.

“Baiklah. Jam 9!”

“Sampai nanti, Looke!”

“Ok!”

#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar