Sabtu, 04 Juli 2009

Naskah sebuah novel: Chapter five.

Chapter five.


Menjelang jam sepuluh malam, CLK 320 meningalkan Nomoto, merengsek cepat ke arah selatan, singgah sebentar menaikan Drew, membeli beberapa kotak Hot Dog di sebuah gerai depan sebuah Plaza serta dua botol anggur lalu melanjutkan perjalanan.
Mereka masuk ke gedung WTC Jakarta, dan memarkir mobil tersebut di basement, lalu menuju ke Dunkin Donut restaurant di samping kiri. Seorang telah menunggu kedatangan mereka di salah satu meja yang berada di depan restoran tersebut.

“Kline!” Pria berpotongan kelas atas, seorang eksekutif top memperkenalkan dirinya.

“Looke!”

"Dan ini adalah Drew, teman satu flatnya!"

Kline tersenyum kearahnya pada perempuan yang diperkenalkan Foster padanya, lalu mejabat tangannya, memperkenalkan diri.

Looke dan Drew mengambil posisi berhadapan dengan mereka. Nampak beberapa orang pekerja kantor di ketiga gedung tersebut berseliweran keluar masuk ke sana. Beberapa orang lainnya baru pulang setelah kerja lembur.

“Ini yang pertama kalinya saya kemari!”

“Nyaman ya?!” Kline menmotong perkataan Looke.

“Itu jugalah yang ingin aku katakan! Sambung Drew.

Foster sedang berada di dalam restoran membeli beberapa donat dan minuman ringan. Looke membuka botol anggur yang pertama bersamaan dengan Foster muncul dengan senampan donat dan minuman.

“Silahkan pilih mana yang kalian suka!” dia menawarkan ketiga gelas kopi lainnya.

Looke menuangkan anggur itu kedalam gelasnya, lalu kedalam ketiga gelas lainnya. Drew mulai mengunyam sedikit daemi sedikit ujung Hod Dog jumbo yang masih hangat, Kline pun demikian.
Mereka akan bersantai dan bersenang-senang seadanya, sedapatnya malam ini, tapi bagaimanapun ini adalah pertemuan singkat dan untuk perbincangan sesuatu tentang bisnis.

“Kamu pernah mendengar reality show malam pertama?” tanya Foster kepada Looke.

“Pernah!”

“Menontonnya?”

“Beberapa kali!”

Malam pertama adalah sebuah tayangan, acara yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan malam pertama yang sebagaimana diketahui secara umum, sesuai dengan istilahnya. Itu hanyalah sebuah nama. Acara itu sendiri adalah acara yang bercerita tentang kencan para selebriti dengan fans-fans mereka yang terdiri dari eksekutif papan atas, sesama selebritis, politisi dan orang-orang biasa. Mereka dipilih secara selektif, tidak acak, dan skenarionya di garap dengan matang, serius, khusus agar acara tersebut tidak kehilangan selera, standart dan kelas. Kencan-kencan selebriti tersebut bukanlah kencan-kencan sebenarnya akan tetapi sebuah acara yang sinematografinya di kelolah dan digarap dengan sangat kreatif dan sedramatis mungkin, embuatnya nampak seperti kencan sungguhan.

Bagaimanapun ini adalah sebuah reality show di TV bukan ajang perjodohan, ada skenarionya bagaimana sebuah kisah bermula, berjalan dan berakhir. Jika ada yang pada akhir acara yang benar-benar jatuh cinta dan terlibat lebih jauh dalam jalinan asmara yang sesungguhnya yang serius, jelas itu adalah persoalan yang lain. Sah-sah saja, tapi bagaimanapun tokh, cerita telah berakhir, saat itu.

“Saya yang membuat acara tersebut!”

“Saya adalah penggemarmu!”

“Thank you, Drew!”

“Foster meneguk sedikit anggur sambil memejamkan matanya.

“Kami akan menggerap kencan Meadowri!”

“Meadowri, Foster?”

“Surprise! Yes. Konsep acaranya sudah selesai dibuat, sekarang tinggal syutingnya saja!”

“Dia idolaku yang lain! Foster, tolong kau membuatnya dengan semenarik mungkin!”

“Tentu saja, Drew. Dia adalah perempaun yang sangat istimewa!”

Dia menggigit kembali Hot dognya. Kline mengikuti, demikian pula Lokke, lalu sedikit anggur dari gelas.

“Dan kau, Looke, akan menjadi salah seorang kencannya. Seperti itulah jalan ceritanya!”

“Aku? Kau tidak salah memilih?”

“Tidak Looke. Karaktermu, profil dan profesimu pas. Kehadiranmu akan memberinya kencan dan sentuhan yang berbeda. Kami akan menggarap skenarionya dari berbagai sudut pandang.”

“Dan aku akan bermain denganmu, Looke!”

“Serta beberapa orang lain. Seorang selebriti, seorang pengusaha, ada politisinya, seorang pekerja kantoran dan beberapa orang lagi yang akan berperan sebagai looser! Kline akan berperan sebagaimana yang sebenarnya.”

Dia, Kline tak lain adalah pacar Meadowri.

“Kau tahu Looke, beberapa orang loser dari tayangan-tayangan sebelumnya kini telah naik kelas. Beberapa orang bahkan melompat sangat jauh dari bawah ke atas, dalam sekejab mata. Beberapa orang kuli bangunan yang pada jam ini masih menggali tanah di sepanjang sisi jalan atau bergelantungan di puncak gedung-gedung bertingkat yang sedang dibangun di masa lalunya kini sedang tripping di diskotik, ditemani dengan perempuan-perempuajn cantik dan beberapa butir pil ekstasy. Benar khan Foster?”

“Yep. Benar sekali. Setiap orang berhak untuk sesuatu yang lebih baik, bukan. Itulah rejeki mereka, nasib mereka!”

“I am love it, Foster!”

“Seorang pecundang naik kelas? Itu baru dongeng!”

“Dan dongeng terbaru Meadowri ada di depan mata, Drew. Looke, kau siap menjadi bagian dari cerita, bagian dari dongeng abad ini?'

“Dongeng-dongeng yang seperti itu menumpuk di kepalaku, Foster. Kau mungkin telah membaca beberapa diantaranya. Untuk suatu hal, perlu kau ketahui bahwa...”

“Katakan!”

“Inilah saatnya Looke!” sambung Kline.

“Looke melumat sisa Hot Dognya, siap menyambar Donut, sementara malam semakin larut, udara terasa semakin dingin, rasa lapar kian menggerogoti.

“Ini adalah acaramu, bukan?”

“Yep!”

“I am on your show! Jika kau adalah pemilik stasiun Tvnya sekaligus, ini berarti I am on your TV!”

“Bagaimana saya bisa menutupinya Looke? Ini adalah tambang duit, kita semua sama-sama tahu! Engkau akan mendapatkan bayaran Looke, dan kalau kau memerankan peranmu dengan hebat, bonus adalah hakmu!”

“Looke aku menyukaimu!” Kline menyeletuk.

“Bagaimana dengan Meadowri, Kline?”

“Ha.., ha.., itu persoalan lain, persoalanku. Bagaimana gentleman, we have a deal?”

“Foster nampak sedikit aga tegang. Sesi Moeadowri adalah sesuatu yang special sebagaimana dirinya, itu sudah diungkapkannya tadi. Looke juga demikian, dia berharap keduanya ada disana, memainkan perannya masing-masing, dalam acaranya!

“Saya di TV, di malam pertama show? Anak-anakmu pasti akan sangat menyukainya, Foster!”

“Drew?”

“Yep!” jawabnya lalu menggamgam tangan Looke.

“anak-anakku? Kau sidah berkeluarga Loke?”

“Ini jelas akan sangat menguntungkan pihakmu Kline!” Jawab Looke berkelakar lalu mebngambil dompetnya, dan mengeluarkan selembar fot dari sana.

Dia menunjukkannya pada Kline.

“Yang perempuan namanya Pearl, adiknya namanya Sam!”

“Anak-anak yang hebat, seperti kau, setikdanya seperti itulah di foto ini! Untuk semua itu, kali ini aku benar-benar mencintaimu, Looke!”

“Kalau itu yang terjadi, apa yang akan kau katakan pada nanti pada Meadowri?”

“Dia tertawa lagi. Mereka semua tertawa. Kline lalu menunjukan foto itu kepada Foster.

“Saya sudah melihatnya!”

Looke mengambil kembali foto anaknya dari tangan Kline dan memasukkan ke dalam dompet.

“Gentleman...., saya tidak mau ketinggalan sedikitpun atau kehilangan sedikitpun kesenangan malam ini. Kita nyaris belum memulai papun, tapi bagaimanapun perayaan sudah harus di mulai. Foster dan saya tidak akan mungkin lagi menyetir sendiri. Kita berempat masing-masing harus pulang dengan taxi. Drew, Looke bagaimana menurutmu?”

Drew tersenyum, lingkungan baru dan opergaulan baru yang menarik dan menyengkan, itulah yang dirasaknnya sampai saat ini. Sama seperti Foster, dia berharap tidak melewatkan apapun.

“Lanjut!” jawabnya.

Cepat dia meneruskan lagi...

“Bagaimana Kline?”

“Lanjut, tunggu apa lagi!” jawabnya tegas.

Foster merasa legah mendengarnya.

“Sebotol lagi, bagaimana Looke?”

“Boleh! Saya tahu dimana mendapatkannya, yang terdekat dari sini!”

“Jangan pake lama-lama!”

“Ok, Foster!”

Looke bergegas meninggalkan mereka bertiga, payung-payung depan dunkin donut itu , keluar dari halaman WTC lewat pintu belakang, menuju ke sebuah warung minuman pinggir jalan yang tak jauh dari sana.

Mereka semua sedang bahagia, senang dan bersemangat.

Jika anda bisa merasakannya, menagkap jiwanya, seperti inilah hidup saya.

Pearl dan Sam telah terlelap. Ibu Soup menemani mereka.


*


Pagi itu Looke mengantarkan mereka, Pearl dan Sam ke sekolah. Pagi yang selalu cerah, menggairahkan dan menyenangkan bagi mereka berdua. Mereka sangat bersemangat ke sekolah.

Looke merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah ponsel yang berdering, dari seseorang yang tdaik dia kenal. Namun tidak dengan suara dari ujung seberang sana.

“Looke?”

“Ya, saya sendiri. Ibu Gwen, bukan?”

“Benar. Seseorang ingin berbicara dengan kamu, bos saya, saya menggunakan ponselnya!”

Ibu Gwen, editor yang handal itu mengembalikan ponsel ke pemiliknya, lalu keluar dari ruang an si bos.

“Sudah tahu siapa saya khan?”

“Sudah, anda punya banyak anak buah bukan?”

“Ha.., ha.., benar sekali. Saya ingin bertemu dengan kamu. Bisa datang tidak ke kantor pagi ini?”

Looke kali ini tak banyak berpikir, membuang waktu. Orang yang berbicara dengannya adalah seorang bos penerbitan majalah yang bergengsi dengan pekerjaan yang bertumpuk dan jam terbang yang padat. Tidak ada yang lebih berharga darinya selain waktu.

“Jam berapa saya harus tiba di sana?”

“Jam 11, menjelang siang. Bisa?”

“Saya akan segera bersiap, Ibu!”

“Baiklah, saya tunggu!”

Looke melempar ponsel model lama itu ke atas ranjang, tipe yang tak seorang copetpun tertarik mengambilnya, lalu bergegas ke kamar mandi. Sebentar saja, kemudian dia keluar, memilih stelan kemeja salah satu yang trbaik yang dimilikinya lalu menggenakannya.

Apa yang akan terjadi kemudian?

Vanity Parker, padalah perempuan karir dan ibu rumah tangga yang sukse dan hebat di dunianya, kelas atas yang hangat dan terbuka. Senang rasanya berkenalan, berhubungan, bekerjasama dan berbisnis dengan orang-orang seperti mereka. Mereka punya nilai, cita rasa dan standart, sesuatu yang berkelas, adalahs esuatu yang senantiasa terhormart dan dihormati. Kau tahu seperti apa rasanya, bagaimana rupanya semua itu? Ini sesuatu yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang.

Looke mampir sebentar di meja Ibu Gwen, menanyakan letak ruang direktur, itu berada satu lantai di atasnya. Dia keluar dari lantai 10 kenuju ke lantai berikutnya dengan ank tangga.

Ruangan itu luas, terdiri dari beberapa rak buku, peralatan elektronik terbaik dan desain interior serta pernak-pernik yang modern. Tidak ada warna yang dominan, semuanya sesuai dengan jenisnya.
Vanity Parker mempersilahkannya duduk. Ada jedah, saling tatap sebelum pembicaraan dimulai. Looke tak tahu harus memulai dari mana.

“Ibu Gwen sudah bercerita cukup banyak tentang kamu dan cerpen-ceropemmu. Itu cukup untuk mengantarkanmu masuk ke sini. Semua orang jelas harus punya latar belakang dan reputasi, dan itu, kau tahu, adalah sangat penting dimanapun, terlebih di sini. Secukupya dari yang telah saya ketahui, rasanya penting lebih jauh dan lebih banyak mendengarnya langsung dari kamu, dari sumbernya. Ibu Gwen memanggilmu no body, lalu menambahinya untuk meyakinkan saya bahwa cukuop banyak hal berkembangang dari sana, dalam kehidupan ini, bergerak sewajarnya, mengalir sebagaimana mestinya hingga akhirnya menjadi sesuatu yang jauh lebih baik, sesuatu yang nyata, some body, yang lebih berrati. Pada tingkat ini, banyak hal semestinya dan seharusnya diposisikan dan diperhitungkan dengan sebagaimana selayaknya, diapresiasi dengans ebagaimana mestinya. Kita tidak akan berbicara tentang karakter dan kepribadianmu, saya tidak tertarik dan itu pula bukan bidang saya, itu tidaklah lebih penting dari semua ini!”

Vanity Parker menunjukkan salinan cerpen-cerpen Looke yang pernah dia kirimkan ke sana, berjumlah puluhan, yang ditolak termasuk ke lima yang telah di terbitkan, menghiasi beberapa halaman dalam majalah yang mereka terbitkan.

Looke nampak nerveous dan tegang. Ppikirannya diliputi oleh pertanyaan kemana arah pembicaraan ini? Dia tidak menyembunyikannya. Biarkanlah semua berjalan apa adanya. Yang pasti, dia bukan orang pertama yang mengalami situasi seperti ini, di sini.

“Minum apa?”

Pertanyaan standart. Looke tak segera menjawab, apa kira-kira yang pantas, pikirnya dalam.

“Rileks saja. Saya berharap demikian. Minum apa?” tanya ibu Vanity lagi.

“Kalau ada, secangkir kopi!”

“Kopi? Baiklah!”

Dia mengangkat telpon, berbicara dengan sekretarisnya yang berada di ruangan yang lain, dan tak lama kemudian seseorang telah muncul mengantarkan segelas kopi panas untuknya.

“Kamu masih ingat dengan saya?”

“Tidak!” Looke menjawab dengan tegas, dengan benar, sebagaimana yan sesungguhnya.

“Kamu menyenggol saya, hampir saya menabrak saat meninggalkan ruangan redaksi!”

“Seingat saya waktu itu ada beberapa orang. Beberapa hari yang lalu. Wajah mereka tak ada yang saya lihat atau kenal. Kalau salah satunya ternyata adalah Ibu, saya minta maaf. Sungguh, saya tidak sengaja. Saya sedang terburu-buru ketika itu. Ibu tahu, di tempat saya bekerja satu menit di mesin absensi sangat berarti. absen sangat berpengaruh atas jumlah tip yang akan dia peroleh. Sekali lagi, ibu, saya minta maaf!”

“Kalau begitu kita lupakan saja, bagaimana?”

Looke mangangguk.

“Terimakasih, Ibu!”

“Vanity Parker berdiri, bangkirt dari kursinya dan meneguk sedikit Coca-cola dari kalengnya.

“Kamu merokok?”

“Ya!”

Looke merogoh kantongnya, mengeluarkan sebungkus Sampoerna Mild, menunjukkannya kepada si Ibu lalu memasukkannya kembali dengan gerakan yang gugup.

“Kamu boleh merokok di sini, kalau mau!”

“Saya sangat menginginkannya. Saya nerveous, Ibu bisa melihatnya sendiri. Sebantang?”

“Silahkan! Asbaknya ada disana!”

Looke berdiri lalu mengambil asbak yang ada di sebuah meja dorong lalu kembali ke tempatnya. Si bos memperhatikan setiap langkah dan gerakannya. Dia menyenangi bentuk tubuhnya. Badannya tinggi kurus, berbahu lebar, Tak nampak sesuatu yang kekar, menonjol dan luar biasa, yang seksi dari balik kemeja yang dikenakannya. Namun bagaimanapun tubuhnya yang ramping di bentuk oleh lekukan-lekukan otot yang terbentuk secara alami, tidak dengan pembesaran, atau karena program fitnes pembentuk tubuh ideal yang disertai dengan berbagai suplemen khusus.

“Dia bukan pria bertipikal liar. Dia adalah pribadi sederhana yang bersahaja, yang mapu membuat sebuah senggama imajiner yang sangat kreatif dan imajinatif, mendekati kenyataan!” pikir si Ibu berhipotesa sensiri.

Dia berpurat-putar sebentar di dalam ruangannya lalu kembali ke mejanya.

“Disini ada sekitar 20an cerpen. Semuanya telah saya baca!” dia menunduk menerangkan beberapa hal lebih lanjut, membolak-balik tumpukan cerpen itu lalu memisah-misahkannya.

“”Saya menyukai beberapa. Seperti yang ini, yang ini, yang ini, dan yang ini, serta beberpa yang lain, membuat saya terobsesi terhadap beberapa hal baru dalam hidup ini!”

Jantung Looke mendadak berdetak kencang, bedegub sangat keras dan tidak karuan. Itu dapat terlihat jelas pada gerakan-gerakan denyutan di kemejanya, di dadanya. Dia lalu mulai salah tingkah, kehilangan kendali pada diri dan kesadarannya, pada ketenangannya saat melihat belahan dada Ibu vanity Parker dari balik kerah baju saat dia menunduk untuk waktu yang cukup lama tadi. Dia menggenakan kemeja biru cerah, dari -------------- dengan beberapa butir kncing yang dibiarkan terbuka. Sebagian besar keindahannya dapat terlihat dengan jelas dan utuh oleh Looke saat dia menunduk. Looke belum pernah melihat keindahan yang hebat, produk estetika yang sedemikian mengagumkan itu.

Vanity Parker mengatahuinya, Looke mulai syahwat, dia memang sengaja melakukannya, menggodanya. Akal baru muncul, terbesit di benaknya.

“Tolong Looke ambilkan minuman Ibu yang di sana!”

“Haruskah, Ibu?” balik Looke bertanya menunjukkan keenggganannya. Dia sedang ereksi berat.

“Kau bisa melakukannya?” desak si Ibu.

“Bisa, Ibu!”

Looke membetulkan celananya cepat, lalu menuju ke meja tamu yang berada di pojok ruangan itu mengambil minuman si Ibu dengan ayunan langkh yang kaku. Wajahnya merah padam. Si Ibu mengikuti langkahnya dengan perhatian penuh, dia melihat tonjolan, tanda-tanda ereksi yang hebat. Namun dia sudah tidak menghiraukannya.

“Kau tegang sekali Looke?”

“benar Ibu, semuanya nampak tegang, saya tidak tahu seperti apa kata-kata yang tepat untuk mengatakannya!”

“Kamu tidak perlu mengatakan apapun, kamu tidak akan pernah melangkah maju melakukan banyak hal kalau kamu tidak merasa nyaman, itulah yang kamu butuhkan saat ini!”

Birahi telah menguasai pikrannya. Nalurinya sebagai lawan jenis menemukan tempatnya. Dia mulai menafsirkan tiap ucaoan Vanity Parker dari sudut pandang senggama. Dia syahwat berat, ereksinya memuncak, dia lalu berdiri dari kursinya. Wajah lugunya masih nampak memerah dari detak jantungnya yang kian menggebu, mendebar, berdetak kian tak beraturan memompa adrenalinnya, aliran darahnya dari jantung ke otak keseluruh tubuhnya. Membuatnya semakin panas. Dia berjalan ke jendela, dia berusaha untuk tidak malu lagi, mengintip keluar sejenak keluar jendela dari balik tirai lalu berjalan mendekati Ibu Vanity Parker.

Dia berhenti di dekatnya, berdiri di belakangnya.

Ini akan berlangsung dengan cepat.

Si Ibu nampak tengang, dia menguasai keadaan, dia yang memulai dan menginginkannya.

Looke menunduk, lalu membisikkan sesuatu ke telinga si Bos.

“Ibu bisa membayangkan tidak bagaimana rupa seekor keledai dungu yang sedang tergoda, yang sedang birahi?”

“Konyol!” jawabnya pendek sambil meoleh meamlingkan pandangnnya ke arah Looke dan ternsenyum manis. Wajah mereka saling bertatapan, sangat dekat, sedikit gerakan saja sentuhan kedua wajah yang birahi itu akan menjadi sebuah ciuman yang hebat, hangat, yang heboh.

Looke menangkap isyaratnya. Dia mengerti maksudnya, ini adalah waktu yang sangat intim dan pribadi namun singkat untuk mereka berdua. Looke tak lagi membuang percuma waktu yang terluang untuknya, Ibu Vanity Parker jelas telah berjudi banyak hal dengannya hari ini, dia tentu tidak ingin kecewa dan dikecewakan, oleh keledai.

Looke mengangkat kedua tangannya, menggunakannya, memegang kedua bahu Miss Parker, lalu memijatnya perlahan-lahan dan lembut.

“Bagaimana, Ibu?”

“Kau bisa melakukannya lebih baik?”

Looke memperbaiki cara memijitnya dengan cepat, menambah sedikit kekuatan dan melakukannya dengan lebih berperasaan. Si Ibu mengatur nafashnya, mencoba menikmatinya. Perlahan-lahan hubungan intim dan interaktif diantara merekapun terjalin, saling pengertian yang sangat membantu menghilangkan jarak dan keraguan. Gerakan Looke nampak mulai semakin berani, agresif dan terbuka dan melebar. Satu persatu rayuan dan kata-kata cionta yang kian membakar birahi dia bisikkan ke telinga Miss Parker. Dia menggeliat karena rasa gatal dan geli bercampur aduk menjadi satu setiap kali Looke berbisik atau bahkan menciumi rambutnya, lehernya, meniup dan menggigit-gigit kupingnya.

Jari jemari Looke bergerak semakin meluas , melebar dan kian berani, menggerayangi. Dia mulai meggerayangi bagian dada Miss Parker, dia membiarkannya, ini adalah permulaan, daerah itu adalah bagian dari permainan senggama singkat mereka yang kian mendebarkan.

Dia memutar kusri Miss Parker dan mulai menciumi bagian dadanya yang montok dan ranum mengeras seperti payudara sorang gadis, perawan belia yang sedang birahi. Dia menggerayanginya dengan bibirnya sementara tangannya yang lain berpegangan memijit bahu, lengan dan tanagn Miss Parker. Dia mengerang, rasa enaknya begitu terasa dan menguasai , dia merangkul Looke, memegang erat rambutnya yang lebat dan sebahu, menghembuskan nafashnya yang tak beraturan, mendesah. Payudaranya yang indah, lembut dan dihiasi dengan urat-urat halus berwarna hijau di sekujur permukaannya telah berada dalam kekusaan mulut Looke. Ini benar-benar ada, pengalaman yang nyata pernah terjadi, dan membangkitkan birahi. saya berhrap bisa mengulanginya kembali, suatu waktu. paling tidak, sekali lagi.

“Looke...!” dia berucap sambil mengerang dan memejamkan matanya.

“Sayang...!”

Tiba-tiba ponsel di atas meja berdering, membuat mereka terkejut setengah mati, lalu seketika mematung tak bergerak sama sekali, tak bergeming sedikitpun, mereka mendengar derot ponsel yang dosertai dengan deit vibrator, mereka lalu saling dengan lugunya memandang tak percaya dengan semua yang terjadi pada diri mereka lalu tiba-tiba keduanya meledak dalam riuh tawa yang terbahak-bahak.

“Ini benar-benar konyol, Looke!” ungkap Miss Parker. Kepalanya pening. Lookepun demikian. Birahi mereka drop seketika. Ini adalah pengalaman puncak yang, antiklimaks yang tidak menyenangkan.

“Ibu Parker...”

“Ya Looke?”

“Padahal saya sebentar lagi keluar!”

“Saya juga, Looke!”

Mereka kembali saling tertawa dan berpelukan.

Itu adalah telpon dari seorang anak perempuannya.

“Miss Veni.....”
“Venity Parker!” tegasnya.

“Ya, Ibu Venity Parker?”

“Ya, Loke sayang?”

“Tidak salah lagi, payudara milik Ibu Veni, adalah payudara terseksi dan terindah yang pernah saya temui dan rasakan, seumur hidup saya!”

“Benar?”

“Benar, sungguh, sekali, banget Ibu!”

dia tersenyum, merasa senang dan bangga dengan apa yang dimilikinya.

“Mungkin karena itulah saya bisa menjadi Direktur di sini!”

“Sungguh?”

“Oh keledaiku!” balas si Ibu tak percaya dengan apa yang telah mereka alami dan keluguan dan kepolosan Looke, pria yang masih berjongkok di depannya, berusaha membetulkan BHnya dan kacing bajunya.

“Ini benar-benar hari yang hebat Looke, terima kasih!"

Telpon masih berdering di atas meja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar